CNBC Insight

Detik-Detik Semburan Lapindo Sampai 'Muntahkan' Harta Karun

News - Muhammad Fakhriansyah, CNBC Indonesia
20 December 2022 17:40
Cover Insight, Lapindo Foto: Cover Insight/ Lapindo/ Edward Ricardo Sianturi

Jakarta, CNBC Indonesia - Baru-baru ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkap keberadaan Litium dan Stronsium di balik material lumpur lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur. Kandungan tersebut adalah bahan utama untuk pembuatan baterai kendaraan listrik yang kini sedang naik daun. Bila digarap serius, diprediksi Indonesia akan mendulang berkah 'harta karun' dari balik tragedi kelam ini.

Bagaimana lumpur bisa menyembur di sana?

Mengutip tulisan jurnal "Bencana Sosial Kasus Lumpur PT. Lapindo Brantas Sidoarjo, Jawa Timur" yang dimuat Universitas Padjajaran (2017), cerita bermula sejak UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi disahkan. Lewat aturan tersebut, swasta kini diperbolehkan negara untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Aturan ini juga menghapus dominasi Pertamina yang telah menjadi raja di sektor ini selama bertahun-tahun.

Dari sinilah berbagai perusahaan swasta, baik dalam atau luar negeri, mulai "bermain" di dunia pertambangan minyak dan gas bumi. Termasuk juga keluarga Bakrie melalui anak perusahaanya, PT. Lapindo Brantas, yang akan mengelola titik eksplorasi di Blok Brantas. Ambisi Lapindo untuk mengeruk migas dari blok yang terletak di Sidoarjo, Mojokerto, dan Pasuruan Jawa Timur ini sangatlah besar. Kawasan itu dipercaya memiliki kandungan sumber daya alam cukup banyak yang jika dikembangkan akan menghasilkan keuntungan besar.

Sayangnya, ambisi besar ini membutakan mata perusahaan tambang tentang bahaya pengabaian SOP eksplorasi migas.

Pada Kamis, 18 Mei 2006, saat pengeboran di kedalaman 8.500 kaki PT Lapindo Brantas mendapat peringatan dari PT. Medco Energi soal kewajiban pemasangan pipa selubung untuk menghindari kesalahan pengeboran. Namun, PT Lapindo mengacuhkan peringatan itu dan tetap melakukan tindakan ceroboh dengan melakukan pengeboran tanpa pipa selubung tanpa alasan jelas. Sikap inilah yang kemudian jadi awal dari catatan kelam dunia energi di Indonesia.

Sebelas hari setelah peringatan, malapetaka pun datang. Tiba-tiba muncul lumpur dari dalam lubang yang dibor. Operator seketika panik. Upaya intervensi berupa penutupan lubang oleh semen berhasil menahan laju lumpur, tetapi itu tidak bertahan lama. Beberapa jam kemudian, tekanan kuat dari dalam berhasil menjebol semen dan lapisan tanah di atasnya. Lumpur panas disertai gas terus keluar. Mulanya hanya menutupi area pengeboran, tetapi karena gagal dihentikan lumpur perlahan terus meluas.

Menurut peneliti geologi Richard Davies dan Michael Manga di The Conversation, sejak saat itu, sekitar 180 ribu meter kubik lumpur keluar dari permukaan tanah setiap harinya. Kurang dari 6 bulan, lahan 400 hektar di empat desa yang terletak di tiga kecamatan tertutup lumpur panas. Jalan tol penghubung Surabaya-Gempol putus karena terhalang lumpur. Aktivitas penduduk berhenti total. Puluhan ribu warga terpaksa mengungsi dan menata hidup baru di tempat lain. Mereka juga harus rela harta bendanya terbenam lumpur.

Kejadian ini kemudian berhasil menarik perhatian ilmuwan untuk mengungkap penyebab keluarnya lumpur dari perut bumi. Mulanya, banyak pihak yang percaya kalau Gempa Bumi yang mengguncang Jogjakarta dua hari sebelumnya adalah biang masalahnya. Namun, teori ini dipatahkan ketika para ahli geologi menyelenggarakan konferensi internasional di Cape Town, Afrika Selatan pada 2008.

Lewat jurnal "The East Java mud volcano (2006 to present): An earthquake or drilling trigger?", Richard J. Davies, dkk mengambil kesimpulan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo disebabkan oleh kesalahan prosedur pengeboran oleh operator. Harusnya, peringatan PT. Medco Energi beberapa waktu sebelum kejadian, dilaksanakan untuk menghindari kejadian ini.

Berbagai upaya dilakukan untuk menanggulangi keberadaan lumpur. Mulai dari pengeboran tambahan untuk mengurangi tekanan dan frekuensi lumpur, pembuatan bendungan, sampai pengaliran lumpur ke laut Jawa. Namun, seluruh tindakan tersebut tidak efektif.

Pada sisi lain, tragedi ini sangat membangkitkan emosi warga terdampak. Seperti dipaparkan Anisa Farida dalam "Jalan Panjang Penyelesaian Konflik Kasus Lumpur Lapindo" yang dimuat dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Politik (2013), aksi protes digelar oleh warga beberapa minggu usai lumpur keluar. Hampir tiap minggunya mereka berdemo.

Warga marah dan menyerukan satu tuntutan, yakni ganti rugi. Jelas, pihak yang harus bertanggungjawab atas kejadian ini adalah PT. Lapindo Brantas, sebagai operator dan pemilik saham terbesar. Namun, upaya pergantian tidak semudah yang dibayangkan.

Pemerintah memutuskan biaya ganti rugi tanah sekitar Rp 120 ribu sampai Rp 1 juta per meter persegi, tergantung pada kondisi lahannya. Total, ada Rp 3,8 Triliun yang harus dibayarkan Lapindo. Meski demikian, Lapindo tidak punya uang sebanyak itu dan hanya sanggup membayar Rp 3,3 Triliun. Alhasil, pada 2015 pemerintah kemudian menalangi kekurangan tersebut sebesar Rp 770 miliar dengan skema pinjaman kepada Lapindo. Kini lahan yang sudah dibebaskan pemerintah itu, kini ternyata menyimpan 'harta karun' tak pernah terduga sebelumnya.


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Harta Karun Langka Lapindo Disebut Emas Putih, Punya Bakrie?


(hoi/hoi)

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading